Senin, 11 April 2011

Permasalahan Yand Dihadapi Guru


I
PENDAHULUAN1
Sekolah belum menjadi sarana pendidikan yang menyenangkan dan memberikan pengetahuan yang bermakna bagi peserta didik. Saat ini, sekolah terlalu banyak membebani siswa dengan pengetahuan yang banyak, namun tidak bermakna. Tidak heran kalau pengetahuan yang diberikan itu tidak bias dijadikan topangan keterampilan yang berkembang secara dinamis. Akibatnya, jangankan untuk bersaing, peserta didik kita bahkan tidak mampu untuk membantu dirinya agar mandiri.
Pernyataan diatas terkait denggan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Walaupun seingkali kita mengetahui banyak siswa uyang mungkin mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami/mengerti secara mendalam pengetahuan yang bersifat hafalan tersebut. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan, yaitu menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Perlu disadari bahwa program pembelajaran bukanlah sekedar rentetan topic/pokok bahasan, tetapi sesuatu yang harus dipahami oleh siswa dan dapat dipergunakan untuk kehidupannya.
Rasionalisasi dari pernyataan di atas ditunjukkan oleh hasil penelitian yang menjelaskan bahwa konsep terdahulu tentang sesuatu yang dimiliki siswa merupakan hal yang penting dalam proses pembelajaran. Siswa pada semua usia memiliki kopnsep tentang berbagai fenomena yang dibawanya ke dalam kelas. Konsep awal ini dapat bersumber antara lain dari latar belakaang kebudayaan, keluarga dan media maupun hal-hal lain di mana siswa secara langsung mendengar, melihat, mengalami dan sekaligus menggunakannya. Konsep ini terbuikti sangat membantu dan bernilai dalam konteks kehidupan keseharian siswa. Sementara itu, konsep baru yang dipelajari siswa di dalam kelas akan lebih mudah diterima siswa jika dikaitkan dengan skema pengetahuan yang telah dimilikinya itu, sehingga terjadi proses asimilasi dan asosiasi. Jika konsep baru tersebut menambah atau memperkaya skema pemikiran yang sebelumnya telah dimiliki siswa, hal ini dapat dikatakan telah terjadi asimilasi, sementara itu proses asosiasi terjadi jika skema yag sebelumnya sudah ada.
Persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan pendekatan yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran tertentu, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana setiap individual mata pelajaran dipahami sebagai bagian yang saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh. Bagaimana seorang guru dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya
tentang alas an dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka pelajari. Bagaimana guru membuka wawasan berpikir yang beragam dari seluruh siswa, sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya kehidupan nyata, sehingga dapat membuka berbagai pintu kesempatan selama hidupnya. Hal ini merupakann tantangan yang dihadapi oleh guru setiap hari dan tantangan bagi pengembangan kurikulum.
Pokok bahasan dalam makalah yang berjudul “Problematika Yang Dihadapi
Guru di Sekolah” adalah sebagai berikut :
o
Apakah hakekat Guru itu ?
o
Apakah Problematika yang dihadapi Guru di Sekolah ?
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Guru
Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di ttempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bias juga di masjid, di surau/mushalla, di rumah, dan sebagainya.2
Guru memang menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat. Kewibawaanlah yang menyebabkan guru dihormati, sehingga masyarakat tidak meragukan figure guru. Masyarakat yakin bahwa gurulah yang dapat mendidik anak didik mereka agar menjadi orang yang berkepribadian mulia.
Dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, maka di pundak guru diberikan tugas dan tanggung jawab yang berat. Mengemban tugas memang berat. Tapi lebih berat lagi mengemban tanggung jawab. Sebab tanggung jawab guru tidak hanya sebatas dinding sekolah, tetapi juga di luar sekolah. Pembinaan yang harus guru beerikan pun tidak hanya secara kelompok (klasikal), tetapi juga secara individual. Hal ini mau tidak mau menuntut guru agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak didiknya, tidak hanya di lingkungan sekolah tetapi di luar sekolah sekalipun. Karena itu, tepatlah, bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual ataupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah.
B. Problematika yang dihadapi Guru di SekolahMenurut Chandler dan Petty, yang dikutip oleh M. Ngalim Purwanto, bahwa masalah-masalah yang dihadapi guru pada umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :3
Kebutuhan akan perumahan/tempat tinggal yang sesuai atau wajar bagi
seorang guru;
Memperoleh perkenalan dengan personel sekolah (guru-guru dan pegawai)
Memperoleh pengertian tentang system dan tujuan sekolah.
mengerti tentang peraturan-peraturan dan tata tertib yang berlaku di sekolah
itu.
Mengerti dan dapat mengenal masyarakat serta lingkungan sekitar.
Mengenal organisasi-organisasi professional dan etika jabatan, dan
Masalah-masalah penting lainnya yang berhubungan langsung dengan tugas
pekerjaannya sebagai guru di sekolah itu.
Masalah pokok yang dihadapi guru, baik pemula maupun yang sudah professional adalah pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas merupakan masalah yang kompleks. Guru menggunakannya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas untuk mencapai tujuan pengajaran secara efisien dan memungkinkan anak didik dapat belajar. Dengan demikian pengelolaan kelas yang efektif adalah syarat bagi pengajaran yang efektif. Tugas utama dan yang paling sulit dilakukan guru adalah pengelolaan kelas, lebih-lebih tidak ada satu pun pendekatan yang dikatakan paling baik.
Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses interaksi edukatif. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan mempertahankan konsisi yang optimal bagi terjadinya proses interaksi edukatif. Yang termasuk ke dalam hal ini adalah misalnya penghentian tingkah laku anak didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas nak didik, atau penetapan norma kelompok yang produktif.
Suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur anak didik dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Pengelolaan kelas yang efektif merupakan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses interaksi edukatif yang efektif.
Adapun tujuan keterampilan mengelola kelas adalah sebagai berikut :
Untuk anak didik:4
*Mendorong anak didik mengembangkan tanggung jawab individu terhadap
tingkah lakunya dan kebutuhan untuk mengontrol diri sendiri.
*Membantu anak didik mengetahui tingkah laku yang sesuai dengan tata tertib
kelas dan memahami bahwa teguran guru merupakan suatu peringatan dan
bukan kemarahan.
*Membangkitkan rasa tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam tugas dan
pada kegiatan yang diadakan.
Untuk Guru:
*Mengembangkan pemahaman dalam penyajian pelajaran dengan pembukaan
yang lancer dan kecepatan yang tepat.
*Menyadari kebutuhan anak didik dan memiliki kemampuan dalam memberi
petunjuk secara jelas kepada anak didik.
*Mempelajari bagaimana merespon secara efektif terhadap tingkah laku anak
didik yang mengganggu.
*Memiliki strategi remedial yang lebih komprehensif yang dapat dipergunakan
dalam hubungannya dengan masalah tingkah laku anak didik yang muncul di
dalam kelas.
Jamaluddin Idris, Kompilasi Pemikiran Pendidikan (Yogyakarta : Taufiqiyah
Sa’adah-Suluh Press, 2005).
Mutu pendidikan adalah persoalan mikro di sekolah, bahkan perorangan. Mutu hanya terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar dan belajar sebanyak mungkin. Mutu penidikan harus dilihat dari meningkatnya kemampuan belajar siswa secara mandiri. Pengetahuan apapun yang mereka kuasai adalah hasil belajar yang mereka lakukan sendiri.5
Pendekatan Pembelajaran adalah pelaksanaan pendidikan yang bersifat mikro di sekolah. Pendekatan pembelajaran yang berbasis kepada kompetensi siswa terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar dan belajar sebanyak mungkin. Keberhasilan suatu pembelajaran dapat dilihat dari meningkatnya kemampuan belajar siswa secarra mandiri. Pengetahuan apapun yang mereka kuasai adalah hasil belajar yang mereka lakukan sendiri.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu dihidupkan dalam proses belajar mengajar yaitu :




Pertama, perkembangan anak didik. Fungsi pendidikan pertama-tama
adalah membantu peserta didik untuk berkembang, secara baik. Ini berarti perkembangan anak harus menjadi focus pelaksanaan pendidikan. Salah satu nilai mendasar dalam menumbuhkan perkembangan diri anak adalah rasa kepercayaan diri. Karena itu, dialog dan pengakuan diri perlu mendapat perhatian. Hanya dengan nilai-nilai inilah pemekaran diri anak akan terwujud. Anak diberi kesempatan untuk membedah dirinya sendiri. Dalam kerangka ini fungsi guru adalah membantu anak untuk mengetahui sesuatu yang ada dalam dirinya itu. Jadi guru menjadi bidan yang harus aktif untuk menolong anak, akan tetapi proses kelahirannya harus dilakukan oleh anak didi sendiri.7
Kedua, Kemandirian anak. Terkait dengan hal di atas yang perlu
dihidup0kan dalam proses belajar mengajar adalah otonomi, karena aktivitas mandiri ini merupakan jaminan satu-satunya untuk membentuk kepribadian yang sebenarnya. Artinya, upaya guru melatih peserta didik untuk mempunyai pendirian terhadap sesuatu hal perlu mendapatkan perhatian. Untuk itu, kemampuan anak untuk menentuakan diri, pendapat maupun penilaian atas diri dan relitas social harus dihargai.
Ketiga, vitalisasi model hubungan demokratis. Konskuensi dari
penghidupan sikap otonomi anak adalah pembaharuan relasi murid dengan guru dan sebaliknya. Artinya, yang diberlakukan dalam proses belajar mengajar bukan sikap otoriter, yang menempatkan murid sebagai lawan dari guru, melainkan sikap partisipatif dan kooperatif. Dalam sikap partisipatif dan kooperatif itu anak justeru diakui sebagai pelaku, bukan sebagai objek. Dengan pengakuan itu pula bagi peserta didik peristiwa sekolah menjadi sebuah peristiwa yang menghidupkan perjumpaan antarpribadi uyang saling mengasihi dan kemitraan yang saling memekarkan persaudaraan dan menggembirakan.8
Keempat, vitalisasi jiwa eksploratif. Perlu diakui bahwa peserta didik kaya
dengan daya cipta, rasa dan karsa. Dan potensi-potensi ini harus diakui dan ditumbuh-kembangkan dalam proses pembelajaran. Justeru disini fungsi pendidikan amat kelihatan. Dalam kerangka ini, jiwa eksploratif sangatlah penting mendapat ruang gerak. Daya kritis anak, semangat mencari, menyelidiki dan meneliti perlu ditumbuhkan. Hal inilah sebagai basis bagi lahirnya kreativitas.9
Kelima, kebebasan. Untuk mewujudkan semua hal di atas iklim kebebasan
bagi anak sangatlah mutlak. Ada dua hal mengapa kebebasan diperlukan, (1) kebebasan itu sendiri merupakan hak azasi manusia yang mendasar. Artinya, hak untuk berbicara, berkreasi merupakan bagian dari hak azasi manusia. (2) kebebasan merupakan syarat untuk perkembangan. Anak-anak yang selalu
dikekang dengan sikap otoriter tidak mungkin akan bias berkembang secara kritis,
apalagi mampu berkreasi, selain memiliki ketergantungan yang mutlak.
Kebebasan yang dimaksudkan disini bukan berarti kebebasan yang sewenang-wenang, melainkan kebebasan yang menjunjung tinggi disiplin, dengan kata lain kebebasan harus disertai dengan tanggung jawab. Peserta didik dilatih untuk mampu menghayati keterikatan yang memuaskan dan menggembirakan, karena memberi pengakuan atas kemampuannya untuk mengatasi hal-hal yang sulit dan berat.
Keenam, menghidupkan pengalaman anak. Tak biasa disangkal bahwa
salah satu esensi pendidikan adalah membuat anak agar tidak terasing dari pengalamannya. Ini berarti materi pelajaran yang diberikan harus terkait dengan dunia praktis serta lingkungan yang disaksikan oleh anak di sekitarnya. Dengan kata lain, pengalaman anak harus mendapat perhatian. Mengapa ? Karena anak didik akan lebih tertarik dan mengikutkan hatinya dalam kegiatan belajar kalau apa yang diterimanya terkait dengan dunia nyata yang dialaminya. Ketika sesuatu dibicarakan diluar realitas yang dialami oleh si anak, maka sangat sulit bagi anak untuk menangkapnya. Ini mempengaruhi keseriusan anak dalam menerima pelajaran (flow).10
Ketujuh, Keseimbangan pengembangan aspek personal dan social. Dua
nilai ini merupakan nilai mendasar kemanusiaan peserta didik. Artinya dimensi individualitas yang terungkap dalam pengembangan kemampuan anak untuk menemukan hal-hal baru melalui daya eksploratif dan kreatif serta inovatifnya harus diimbangi dengan sikap kebersamaan dan penghargaan terhadap sesamanya. Jadi selain mengandalkan kemampuan dirinya, si anak juga harus mampu bekerja sama dengan satu atau beberapa teman dalam proses dialiktika dan dialog. Sehingga menumbuh-kembangkan semangat kepekaan anak terhadap sesamanya. Karena nilai-nilai kebersamaan dalam proses belajar perlu ditanamkan. Jika pendidikan hanya menekankan dimensi individualitas peserta didik akan berkembang menjadi seorang yang cenderung egoistis.
Keseimbangan individualitas dan social akan melatih peserta didik untuk mampu bekerjasama dalam masyarakat. Dan anak akan terlatih untuk mebiasakan diri hidup dalam kompetisi yang sehat dengan semangat solider dan saling menghargai.11
Kedelapan, Kecerdasan emosional dan Spiritual. Membentuk anak didik
mejadi manusia berkualitas baik secara moral, personal maupun social tidak cukup hanya dengan mengembangkan dimensi kognitifnya (IQ), melainkan harus juga disertai dengan pengembangan efektif atau emosionalnya. Dengan kata lain, kecerdasan emosional anak perlu ditumbuhkembangkan dalam pembelajaran. Pengembangan emosi ini justru sangat penting karena kecerdasan emosi
memungkinkan peserta didik mampu menumbuhkan sikap empati dan kepedulian, kejujuran, tenggang rasa, pengertian dan integritas diri serta keterampilan social yang merupakan landasan bagi tumbuhnya kesadaran moral anak.12
Disamping pembelajaran dengan mengaktifkan kecerdasan baik yang bersifat kognitif dan emosional, aspek yang lain yang perlu ditanamkan dalam pembelajaran adalah kecerdasan spiritual (SQ). kecerdasan spiritual adalah ekcerdasan jiwa, kecerdasan yang dapat menyembuh dan membangun diri secara utuh, karena ia dibagian diri yang dalam.13
Bagi kita sebagai muslim, SQ ini adalah identik dengan hati nurani yaitu fitrah. Allah menciptakan manusia berdasarkan fitrah yaitu nilai ketauhidan yaitu agama yang lurus (Lihat Q.S, Ar Rum : 30). Dasar inilah yang mewajibkan kita menciptakan suatu bentuk pendidikan yang berbasis kepada ajaran Islam.
III
KESIMPULAN
Guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah.
Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses interaksi edukatif. Sehingga kegiatan-kegiatan tersebut dapat menciptakan dan mempertahankan konsisi yang optimal bagi terjadinya proses interaksi edukatif, misalnya penghentian tingkah laku anak didik yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas anak didik, atau penetapan norma kelompok yang produktif
Mutu pendidikan adalah persoalan mikro di sekolah, bahkan perorangan. Hal ini bisa terwujud jika proses pendidikan di sekolah benar-benar menjadikan siswa belajar dan belajar sebanyak mungkin serta harus dilihat dari meningkatnya kemampuan belajar siswa secara mandiri.
Ada beberapa hal yang perlu dihidupkan dalam proses belajar mengajar, yaitu perkembangan anak didik, Kemandirian anak, vitalisasi model hubungan demokratis, vitalisasi jiwa eksploratif, kebebasan, menghidupkan pengalaman anak, kecerdasan emosional dan Spiritual, keseimbangan pengembangan aspek personal dan social.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar